1. Welcome
to My Kingdom
Hembusan angin berhasil membuat
pusaran kecil di atas lapangan berdebu. Helaian daun kering yang berguguran
belum sempat memijak tanah lantas harus menari-nari dahulu tertiup angin. Suara
hiruk sedikit menggangguku, lantaran cuaca mendung anak-anak berseragam olah
raga mendapat perintah untuk menghentikan praktiknya. Sedangkan aku masih sibuk
menyeka air mata yang tak henti-hentinya mengalir, mengingat kejadian memilukan
yang bagai santapan sehari-hari. Ku lihat seseorang berseragam dinas datang
menghampiriku, buru-buru aku menata hati dan menutupi wajah kacau ini agar
sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkannya.
.......
“Jadi, kenapa kamu bisa rusakin
motor orang itu Lara?”. Tanya ibu dengan nada sedikit membentak
“Aku
gak sengaja bu, motorku mati pas mau nanjak. Otomatis aku jatuh dan nindihin
motor orang itu. Aku minta maaf bu, nanti ganti ruginya ambil uang jajan aku
aja. Terserah berapa lama aku ga jajan, yang penting biaya ganti ruginya lunas”. Jawab
aku.
“Ini
bokan soal uang, kamu tuh sering banget bikin ibu kesel. Capek ibu, kapan kamu
kayak masmu, nurut, gak banyak tingkah. Iiihh”. Geram
ibu.
Tak ada sepatah kata pun yang dapat
ku lontarkan. Mendidih hatiku mendengar ucapan ibu. Mataku terasa panas, ratusan
tetes air sudah bermuara di kelopak mataku. Bapak hanya menatapku dengan iba,
Ia tahu aku tak seburuk yang ibu kira, tapi Ia juga tahu bahwa kejadian itu
cukup membuatnya merasa kesal terhadapku. Tiba-tiba pintu terbuka. Seseorang
bernama Afran masuk dan memberi salam. Ibu menyambut dengan sangat baik, bapak
biasa saja, dan aku, aku hanya menunduk dan lari ke kamar.
Tak banyak yang mampu aku lakukan di
dalam kamar, kepalaku tenggelam di bawah tumpuka bantal, isakku cukup
terdengar. Aku muak dengan semua ini. Aku tak tahan dengan sindiran
teman-temanku di sekolah, meskipun itu tidak secara langsung. Tetapi menusuk
dari belakang lebih menyakitkan. Apalagi sikap ibu yang selalu menomorsatukan
mas Afran. Memang dia anak laki-laki, tetapi apa masalahnya dengan anak
perempuan, aku yakin mas Afran juga pernah berbuat kesalahan.
Tiba-tiba pintu terbuka, aku
terbangun. Aku baru menyadari bahwa aku tertidur.
“Makan
Ra”. Ucap mas Afran.
“Ga
usah repot mas, nanti kalau aku lapar juga makan sendiri”. Jawabku
dengan nada dingin.
“Emang
tadi ibu bilang apa aja? Jangan kemakan omongan ibu. Kamu pintar, buktinya kamu
dapat beasiswa tiap semester. Kamu bisa masuk SMA yang sekarang itu juga tanda
bahwa kamu pintar. SMA itu kan favorit Ra”. Jelas mas Afran.
Aku hanya terdiam, bahkan aku
memalingkan wajah saat dia berucap seperti itu. Hatiku sama sekali tak
berbangga mendengar pujiannya, dia selalu bersikap baik padaku, tetapi
hari-hari yang aku lewati tak mampu membalas rasa sakitku dengan pujian yang Ia
berikan. Ia tak pernah memberikan tindakan secara nyata bahwa Ia juga
menghargaiku, hanya omong kosong yang Ia berikan. Aku tak peduli bagaimana
perasaannya, karena tak ada satu pun yang mempedulikan perasaanku.
Pagi ini sama seperti pagi kemarin,
mungkin pagi esok juga dan pagi-pagi seterusnya. Ibu menyuruhku menghabiskan
sarapan. Ia selalu memprioritaskan anaknya, begitu pula aku. Tapi kalau disuruh
memilih, pasti pilihannya adalah mas Afran.
“Ra,
nanti kamu berangkat sama bapak aja ya. Soalnya mas Afran ada kuliah pagi, kalau
dia nganterin kamu bisa-bisa telat masuk. Kasihan kan dia”. Jelas
ibu.
Aku hanya mengangguk, menghabiskan
sarapan, lantas berpamitan kepada ibu dan mas Afran dan segera menyusul bapak
yang sudah berada di mobil. Wajah bapak sama seperti biasanya, tidak terlalu
ekspresif tapi sangat peka dengan perasaan sekitar.
“Sekolah
kamu di mana ya Ra? Ko gak nyampe-nyampe, jauh amat ya?”. Ucap
bapak dengan nada sedikit menghibur.
“Ih
bapak, baru jalan 5 meter masa dibilang jauh”. Jawabku
tak terlalu terhibur.
“Itu
pak, di situ tuh kemarin aku jatuh. Tanjakannya tinggi kan? Kalau motor aku
tiba-tiba mati terus jatuh wajar kan?
Mana aku tahu kalau di sampingku ada motor lagi, kan refleks aku pak”. Jelasku.
“Wajar
banget lah. Bapak juga pernah begitu, tapi ya karena bapak tinggi jadi bisa
nahan”. Ejek bapak.
Ya aku memang tidak terlalu tinggi,
dan ini adalah turunan genetik dari ibuku. Tapi kalau soal wajah, aku mirip
sekali dengan bapak. Ada sedikit paras-paras orang timur tengah, tetapi dengan
postur tubuhku yang tidak terlalu tinggi membuatku disebut oleh teman-teman sebagai “Arab
Sisaan”. Mobil yang dikendarai bapak akhirnya terparkir di depan halaman
sekolah, aku mencium tangannya lalu berpamit untuk belajar. Bapak memberiku selembaran uang, Ia beralasan
karena ucapanku kemarin ibu benar-benar tak memberiku uang jajan. Padahal aku
tahu bahwa Ia melihatku tadi pagi saat ibu memberiku uang jajan. Yah beginilah
bapak, tegas, galak, dan sangat peka terhadap suasana.
***
“Jadi gimana Ra? Kira-kira apa yang akan dipersembahkan
dari ekskul mading untuk demo masa orientasi siswa?”.
Tanya pak Rahman selaku guru Bahasa Indonesiaku
”Kalau
untuk konsep saya sudah siapkan pak, tapi saya belum coba mempresentasikan kepada anggota-anggota
lain. Jadi kemungkinan masih banyak ide-ide lain yang lebih bagus” . Jawabku
dengan jelas.
“Baik,
dua hari lagi bapak tunggu ya hasilnya.
Tapi usahakan dibuat semenarik mungkin, agar banyak siswa yang tertarik
untuk mengikuti ekskul mading. Harapannya agar siswa lebih kreatif”. Jelas
pak Rahman.
“Siap
pak”. Jawabku.
Ku akhiri percakapn singkat itu
dengan berpamit kepada pak Rahman lantas keluar dari ruangan guru dan menuju ke
ruang kelasku. Ini adalah semester akhir
di kelas 11, akan ada ujian akhir semester yang pastinya akan menguras otak. Di
samping itu, ada tugas besar yang menyangkut reputasi organisasi yang sedang
aku geluti yang pastinya juga akan menguras otak serta energiku. Ini adalah
akhir masa jabatanku sebagai ketua ekskul mading, karena di kelas 12 nanti
seluruh siswa kelas 12 tidak diizinkan untuk mengikuti ekskul apapun dan harus
fokus untuk mengikuti serangkaian ujian kelulusan dan Ujian Nasional. Hah,
penat aku rasakan, banyak sekali tugas yang harus aku jalani. Sayangnya, tak
ada satu pun orang yang peduli denganku. Bahkan keluargaku. Langkahku terhenti
saat ku melihat pohon mangga yang berdiri tegak nan rimbun, teduhnya merayuku
untuk sejenak duduk di sana.
“Halo
mba Lara, bengong aja!”.
“Ahh
apaan sih Jar, ganggu momen aja lo”.
“Santai-santai,
duduk di samping boleh?”.
“Selama
ini cuma elo yang ada di samping gue kan? Pake nanya”.
“Hehe,
spesial nih gue?”.
“Biasa
aja sih”.
“Oh
oke, biasa, biasa, biasa”.
“Ngambek.
Fajar aku mau curhat dong”.
“Gak
mau denger!”.
“Iihh
marah beneran. Serius nih plisss dong”.
“..........”
“Fajar
aku mohon, aku pusing, capek, marah sama semua yang ada di hidup aku. Kamu mau
jadi MSG tambahannya? Jahat sumpah”.
Tanpa jawaban, tiba-tiba laki-laki bertubuh tegap
dan berkulit bersih itu menatapku lekat. Menggenggam pundakku, mengangkat
daguku yang lesu. Air mataku merembes bagai waduk yang tak kuasa menahan
muatannya, tak ada satu kata pun yang mampu aku jelaskan. Seperti biasanya,
Fajar telah paham apa yang terjadi pada diriku. Tentang keluargaku.
“You
are special. I always proud of you, be the best of Lara”. Ucapnya
penuh makna. Suara lonceng bel memecah
keheningan, sehelai sapu tangan putih tanpa corak namun ada sedikit rajutan
diujungnya, tertulis “Fajar Gustian Putranto” diangkat dari tempat
penyimpanannya lalu disodorkan ke tangan kecilku. Aku menerima dengan penuh
haru. Terima kasih Fajar, cahaya di setiap gelap dan kilauan di setiap
terangku.
Ku lihat wajah seorang gadis pada
cermin di hadapanku, ku perhatikan lagi dan lagi. “Beres, ga terlalu
keliatan sembabnya” ucapku dalam hati. Aku berjalan menuju ruang kelas, di
dalam sudah berkumpul seluruh siswa kelas 11 IPA 1 kecuali aku. Hana teman
sebangkuku langsung memindahkan tumpukan buku dari atas kursiku, beberapa buku
panduan kimia yang tertulis di cover buku tersebut sedikit terlihat kusam
karena terdapat banyak lipatan. Aku ingat ada PR dari pak Hamdan, aku tak
terlalu kaget karena memang aku sudah mengerjakan sesampai di rumah setelah PR
itu diberikan. Aku selalu mengerjakan PR sesaat setelah PR itu diberikan,
bahkan apabila setelah pelajaran itu
selesai dan tidak ada guru setelahnya aku langsung mengerjakannya. Menurutku
itu akan mempermudah dalam mengerjakannya, karena materi pelajaran baru saja
diberikan dan apabila ada kesulitan masih banyak waktu untuk bertanya kepada
guru yang bersangkutan atau sekedar mencari jawaban di buku perpustakaan.
“Ra
PR nih, ayo lah dikit”. Rengek Hana.
“Ogah,
kerjain sendiri. Lagian udah lima hari masih belum kelar”. Cetusku.
“Jahat
ih. Eh lo abis nangis ya Ra?”. Tanya Hana.
“Iya,
tapi jangan bawel”. Jawabku.
“Udah
ah jangan dipikirin. Biarin aja, nyatanya banyak siswi yang pake jilbab,
ngapain lo galau-galau mikirin omongan mereka. Kalau dia mau ngejek, yang ada
dia dikeluarin ama kepsek. Ini sekolah umum, lagian soal keimanan cuma hamba
dan Tuhannya yang tau. Gue juga pake jilbab, ntar kalau dia betingkah gue
lempar pake konde emak gue yang super gede”. Hiburnya penuh
ekspresi menggelitik, menurutku.
“Haha
bener juga ya, tapi dia ngomongnya dibelakang, dan itu rasanya atit Na atit.
Kemarin dia ketemu gue malah nanya ni jilbab beli dimana, coba tuh, gue mau
jawabnya kan kayak jijik gitu”. Jawabku lumayan
terhibur.
“Haha
dia kalo ketemu gue malah kayak ketakutan Ra, eeh ya ampun pak Hamdan masuk,
mati gue belom kelar. Ra plis Ra, satu aja biar ga keliatan kopong banget ni
tugas plis Ra”.
Aku tak tega melihat wajah melas ala
Hana, ini adalah kali ke dua aku memberi jawaban secara cuma-cuma dari
berpuluh-puluh permintaannya. Biasanya aku hanya memberi cara bagaimana untuk
mengerjakannya, tapi karena ini sangat mendesak dan dia sedikit menghiburku, ya
anggap saja ini bonus. Lagi pula hanya satu dari sepuluh soal. Pelajaran
dimulai, pak Hamdan mulai mengeluarkan jurus ala guru kimia dengan segala
ekspresi yang membuat siswanya merasa terancam keselamatannya.
***
Bukannya gitu Jar, lo tau kan mas Afran tuh dewa banget di
rumah. Gue lagi syok malah dipojokin kan makin down √√ 19:22
Yang sabar Lara, mereka ga akan punya rasa benci sama
anaknya. Mungkin ibu lo lagi banyak masalah, namanya manusia pasti ada khilafnya
19:32
Lo ga ada di TKP Jar, lo ga ngerti √
19:40
“Ra turun, makan”. Teriak ibu
“Iya bu, bentar”. Jawabku sembari menunggu Fajar membaca pesan
singkatku via aplikasi Whats App, kenapa pula dia jadi berpindah haluan.
Seakaan-akan kini Ia membela ibu yang selalu menomorsatukan mas Afran. Ku
lempar ponselku ke atas kasur lalu segera turun ke meja makan, bosan aku kalau
harus kena celotehan bahkan sindiran dari ibu hanya karena hal-hal sepele
seperti ini. Lama turun ke meja makan, pasti akan berlanjut menunjuk aku tak
menghargai rezeki lah, “tinggal makan apa susahnya”, “Kamu mau cari
makan sendiri, ya sudah sana”. Hah belum makan sudah kenyang aku.
Makan
malam kali ini cukup membuatku nyaman. Tak banyak celotehan ibu yang mampu membuat
nafsu makanku berkurang atau mungkin hilang, mas Afran yang sudah pulang sejak
pukul 3 sore tadi juga tak banyak
bicara. Justru aku banyak bercerita tentang kesibukanku di sekolah,
walaupun aku tak terlalu bahwa yakin ceritaku didengar, tapi biarlah setidaknya mereka mengerti
kondisiku yang sedang banyak fikiran. Setelah makan malam, bapak, ibu dan mas
Afran berbincang di ruang keluarga sembari menonoton televisi dan membicarakan
sesuatu yang aku tak tahu pasti apa itu, sedangkan aku kembali ke kamar untuk mengerjakan beberapa tugas
sekolah sekaligus berbincang dengan Fajar secara maya.
Lo ga ada di TKP Jar, lo ga ngerti √√
19:40
Lara ngerti dong, kalau lo terus-terusan mandang orang dari
sisi buruk, lo ga akan pernah lihat kebaikan yang pernah dia lakuin ke elo. Lo
bisa ada di dunia ini juga karena mereka, lo bisa segede sekarang juga karena
mereka Ra 19:47
Kacau
fikiranku setelah membaca pesan dari Fajar, aku tak memikirkan apa yang akan
aku balas dari perkataannya, aku justru mencerna perkataannya sebagai tamparan
pada diriku sendiri. Fajar benar, aku terlalu egois selalu menganggap mereka
berlaku tak adil terhadapku. Tetapi, aku justru berfikir balik, apa mereka juga
melihat sisi baik dari diriku? Entahlah, aku harus buang jauh-jauh fikiran
burukku ini, biar apa yang orang lakukan terhadapku, terserah apa yang mereka
fikirkan tentang aku, yang jelas aku harus menjadi diriku sendiri, berbuat baik
pada orang lain, dan buang jauh-jauh fikiran buruk terhadap orang lain. Aku
harus menjadi pelita bagi orang-orang di sekelilingku.
........
Jam digitalku memerlihatkan angka
04:47, aku bangkit dari kasurku. Ku lihat tumpukkan buku yang lupa aku bereskan
menjadi pemandangan biasa di setiap pagi. Lampu LED yang terus berkedip dari
ponselku menandakan ada pemberitahuan pesan singkat ataupun jenis lainnya, ku
raih ponsel berwarna hitam dengan sedikit garis berwarna silver di beberapa
sisinya. 3 missed call –from Fajar GP, tanpa fikir panjang langsung ku
telfon balik manusia satu itu. Manusia yang tidak pernah sabar menunggu, selalu
berusaha berulang-ulang kali agar apa yang dia inginkan tercapai, Fajar Gustian
Putranto.
“Halo,
assalamualaikum Fajar?”. Sapaku via telfon.
“...........”. Hening.
“Halo
Jar? Ko diem”. Tegasku dengan suara serak nan lemas
ala orang baru bangkit dari kasur.
“Waalaikumsalam,
nenek gayung. Ga jadi ngomong, nanti aja di sekolah. Pohon mangga ya, sekalian panen,
tuut tuut tuut......”. Sambungan terputus
Ah
manusia satu ini memang aneh, sayang sekali pulsaku terbuang hanya untuk ucapan
“Nenek Gayung”. Baikalah, aku akan bersiap pagi ini. Bersiap seperti pagi
sebelumnya, pagi esok, dan pagi sterusnya untuk berkunjung ke bawah pohon
mangga. Tempat di mana kerajaanku terbangun.
Bersambung...