Sabtu, 17 Desember 2016

Sang Petualang

oleh: Adimatul Fadliyah

Kali ini dan kesekian kali
Semua datang bertubi-tubi 
Tak lagi puas tentang kau
Judul lain datang menambah duka
Bukan lagi langkahku merapuh
Kini menatap pun enggan
Dalam riuh ku terisak
Di bawah hujan ku menangis

Tidak 
Aku tak mau seorangpun tau
Aku tak mau mereka meragu

Biar sang kaki berlatih
Berlatih tuk tetap kuat menopang
Biar kelopak ini menampung 
Menampung derasnya air mata 
Aku masih di sini, aku masih di bumi
Berjanji tuk tetap menjadi pemenang 
Melawan musuh yang tak henti menyerang
Diri ini yang terus berpetualang 

Sabtu, 29 Oktober 2016

Sebuah Pertanyaan

oleh :  Adimatul Fadliyah

Siang terang, aku tahu
Malam gelap, ya memang begitu 
Burung beterbangan, panggil saja merpati
Membawa pesan seorang pujangga kepada sang putri
Menari di bawah teduhnya langit 
Bersiul riuh, pertanda senang
Aku tahu indahnya siang
Aku pun tahu romantisnya sang malam
Lalu, mengapa aku masih merasa bodoh?
Bertahun-tahun aku melihat
Setiap detik aku merasa
Tapi aku masih belum tahu
Aku ingin pergi ke bumi bagian sana
Tapi, laut sepertinya tahu
Ah bodoh, awan di atas. Dia mampu melihat semua 
Aku ingin pergi ke langit 
Aku masih merasa bodoh
Aku tetap tak tahu
Berkali-kali ku kirim surat kepada sang merpati 
Merpati tak memberi jawaban
Aku mau tahu, aku mau dirimu
Kau baik aku tahu
Kau rupawan aku tahu
Namun, kau cintai aku?
Aku tak tahu.


Selasa, 18 Oktober 2016

Lara

1.      Welcome to My Kingdom
            Hembusan angin berhasil membuat pusaran kecil di atas lapangan berdebu. Helaian daun kering yang berguguran belum sempat memijak tanah lantas harus menari-nari dahulu tertiup angin. Suara hiruk sedikit menggangguku, lantaran cuaca mendung anak-anak berseragam olah raga mendapat perintah untuk menghentikan praktiknya. Sedangkan aku masih sibuk menyeka air mata yang tak henti-hentinya mengalir, mengingat kejadian memilukan yang bagai santapan sehari-hari. Ku lihat seseorang berseragam dinas datang menghampiriku, buru-buru aku menata hati dan menutupi wajah kacau ini agar sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkannya.
.......
            “Jadi, kenapa kamu bisa rusakin motor orang itu Lara?”. Tanya ibu dengan nada sedikit membentak
“Aku gak sengaja bu, motorku mati pas mau nanjak. Otomatis aku jatuh dan nindihin motor orang itu. Aku minta maaf bu, nanti ganti ruginya ambil uang jajan aku aja. Terserah berapa lama aku ga jajan, yang penting biaya  ganti ruginya lunas”. Jawab aku.
“Ini bokan soal uang, kamu tuh sering banget bikin ibu kesel. Capek ibu, kapan kamu kayak masmu, nurut, gak banyak tingkah. Iiihh”. Geram ibu.
            Tak ada sepatah kata pun yang dapat ku lontarkan. Mendidih hatiku mendengar ucapan ibu. Mataku terasa panas, ratusan tetes air sudah bermuara di kelopak mataku. Bapak hanya menatapku dengan iba, Ia tahu aku tak seburuk yang ibu kira, tapi Ia juga tahu bahwa kejadian itu cukup membuatnya merasa kesal terhadapku. Tiba-tiba pintu terbuka. Seseorang bernama Afran masuk dan memberi salam. Ibu menyambut dengan sangat baik, bapak biasa saja, dan aku, aku hanya menunduk dan lari ke kamar.
            Tak banyak yang mampu aku lakukan di dalam kamar, kepalaku tenggelam di bawah tumpuka bantal, isakku cukup terdengar. Aku muak dengan semua ini. Aku tak tahan dengan sindiran teman-temanku di sekolah, meskipun itu tidak secara langsung. Tetapi menusuk dari belakang lebih menyakitkan. Apalagi sikap ibu yang selalu menomorsatukan mas Afran. Memang dia anak laki-laki, tetapi apa masalahnya dengan anak perempuan, aku yakin mas Afran juga pernah berbuat kesalahan.
            Tiba-tiba pintu terbuka, aku terbangun. Aku baru menyadari bahwa aku tertidur.
“Makan Ra”. Ucap mas Afran.
“Ga usah repot mas, nanti kalau aku lapar juga makan sendiri”. Jawabku dengan nada dingin.
“Emang tadi ibu bilang apa aja? Jangan kemakan omongan ibu. Kamu pintar, buktinya kamu dapat beasiswa tiap semester. Kamu bisa masuk SMA yang sekarang itu juga tanda bahwa kamu pintar. SMA itu kan favorit Ra”. Jelas mas Afran.
            Aku hanya terdiam, bahkan aku memalingkan wajah saat dia berucap seperti itu. Hatiku sama sekali tak berbangga mendengar pujiannya, dia selalu bersikap baik padaku, tetapi hari-hari yang aku lewati tak mampu membalas rasa sakitku dengan pujian yang Ia berikan. Ia tak pernah memberikan tindakan secara nyata bahwa Ia juga menghargaiku, hanya omong kosong yang Ia berikan. Aku tak peduli bagaimana perasaannya, karena tak ada satu pun yang mempedulikan perasaanku.
            Pagi ini sama seperti pagi kemarin, mungkin pagi esok juga dan pagi-pagi seterusnya. Ibu menyuruhku menghabiskan sarapan. Ia selalu memprioritaskan anaknya, begitu pula aku. Tapi kalau disuruh memilih, pasti pilihannya adalah mas Afran.
“Ra, nanti kamu berangkat sama bapak aja ya. Soalnya mas Afran ada kuliah pagi, kalau dia nganterin kamu bisa-bisa telat masuk. Kasihan kan dia”. Jelas ibu.
            Aku hanya mengangguk, menghabiskan sarapan, lantas berpamitan kepada ibu dan mas Afran dan segera menyusul bapak yang sudah berada di mobil. Wajah bapak sama seperti biasanya, tidak terlalu ekspresif tapi sangat peka dengan perasaan sekitar.
“Sekolah kamu di mana ya Ra? Ko gak nyampe-nyampe, jauh amat ya?”. Ucap bapak dengan nada sedikit menghibur.
“Ih bapak, baru jalan 5 meter masa dibilang jauh”. Jawabku tak terlalu terhibur.
“Itu pak, di situ tuh kemarin aku jatuh. Tanjakannya tinggi kan? Kalau motor aku tiba-tiba  mati terus jatuh wajar kan? Mana aku tahu kalau di sampingku ada motor lagi, kan refleks aku pak”. Jelasku.
“Wajar banget lah. Bapak juga pernah begitu, tapi ya karena bapak tinggi jadi bisa nahan”. Ejek bapak.
            Ya aku memang tidak terlalu tinggi, dan ini adalah turunan genetik dari ibuku. Tapi kalau soal wajah, aku mirip sekali dengan bapak. Ada sedikit paras-paras orang timur tengah, tetapi dengan postur tubuhku yang tidak terlalu tinggi membuatku  disebut oleh teman-teman sebagai “Arab Sisaan”. Mobil yang dikendarai bapak akhirnya terparkir di depan halaman sekolah, aku mencium tangannya lalu berpamit untuk belajar.  Bapak memberiku selembaran uang, Ia beralasan karena ucapanku kemarin ibu benar-benar tak memberiku uang jajan. Padahal aku tahu bahwa Ia melihatku tadi pagi saat ibu memberiku uang jajan. Yah beginilah bapak, tegas, galak, dan sangat peka terhadap suasana.
***
 “Jadi gimana Ra? Kira-kira apa yang akan dipersembahkan dari ekskul mading untuk demo masa orientasi siswa?”. Tanya pak Rahman selaku guru Bahasa Indonesiaku
”Kalau untuk konsep saya sudah siapkan pak, tapi saya belum  coba mempresentasikan kepada anggota-anggota lain. Jadi kemungkinan masih banyak ide-ide lain yang lebih bagus” . Jawabku dengan jelas.
“Baik, dua hari lagi bapak tunggu ya hasilnya.  Tapi usahakan dibuat semenarik mungkin, agar banyak siswa yang tertarik untuk mengikuti ekskul mading. Harapannya agar siswa lebih kreatif”. Jelas pak Rahman.
“Siap pak”. Jawabku.
            Ku akhiri percakapn singkat itu dengan berpamit kepada pak Rahman lantas keluar dari ruangan guru dan menuju ke ruang kelasku. Ini adalah semester  akhir di kelas 11, akan ada ujian akhir semester yang pastinya akan menguras otak. Di samping itu, ada tugas besar yang menyangkut reputasi organisasi yang sedang aku geluti yang pastinya juga akan menguras otak serta energiku. Ini adalah akhir masa jabatanku sebagai ketua ekskul mading, karena di kelas 12 nanti seluruh siswa kelas 12 tidak diizinkan untuk mengikuti ekskul apapun dan harus fokus untuk mengikuti serangkaian ujian kelulusan dan Ujian Nasional. Hah, penat aku rasakan, banyak sekali tugas yang harus aku jalani. Sayangnya, tak ada satu pun orang yang peduli denganku. Bahkan keluargaku. Langkahku terhenti saat ku melihat pohon mangga yang berdiri tegak nan rimbun, teduhnya merayuku untuk sejenak duduk di sana.
“Halo mba Lara, bengong aja!”.
“Ahh apaan sih Jar, ganggu momen aja lo”.
“Santai-santai, duduk di samping boleh?”.
“Selama ini cuma elo yang ada di samping gue kan? Pake nanya”.
“Hehe, spesial nih gue?”.
“Biasa aja sih”.
“Oh oke, biasa, biasa, biasa”.
“Ngambek. Fajar aku mau curhat dong”.
“Gak mau denger!”.
“Iihh marah beneran. Serius nih plisss dong”.
“..........”
“Fajar aku mohon, aku pusing, capek, marah sama semua yang ada di hidup aku. Kamu mau jadi MSG tambahannya? Jahat sumpah”.
Tanpa jawaban, tiba-tiba laki-laki bertubuh tegap dan berkulit bersih itu menatapku lekat. Menggenggam pundakku, mengangkat daguku yang lesu. Air mataku merembes bagai waduk yang tak kuasa menahan muatannya, tak ada satu kata pun yang mampu aku jelaskan. Seperti biasanya, Fajar telah paham apa yang terjadi pada diriku. Tentang keluargaku.
“You are special. I always proud of you, be the best of Lara”. Ucapnya penuh makna.  Suara lonceng bel memecah keheningan, sehelai sapu tangan putih tanpa corak namun ada sedikit rajutan diujungnya, tertulis “Fajar Gustian Putranto” diangkat dari tempat penyimpanannya lalu disodorkan ke tangan kecilku. Aku menerima dengan penuh haru. Terima kasih Fajar, cahaya di setiap gelap dan kilauan di setiap terangku.
            Ku lihat wajah seorang gadis pada cermin di hadapanku, ku perhatikan lagi dan lagi. “Beres, ga terlalu keliatan sembabnya” ucapku dalam hati. Aku berjalan menuju ruang kelas, di dalam sudah berkumpul seluruh siswa kelas 11 IPA 1 kecuali aku. Hana teman sebangkuku langsung memindahkan tumpukan buku dari atas kursiku, beberapa buku panduan kimia yang tertulis di cover buku tersebut sedikit terlihat kusam karena terdapat banyak lipatan. Aku ingat ada PR dari pak Hamdan, aku tak terlalu kaget karena memang aku sudah mengerjakan sesampai di rumah setelah PR itu diberikan. Aku selalu mengerjakan PR sesaat setelah PR itu diberikan, bahkan apabila setelah pelajaran  itu selesai dan tidak ada guru setelahnya aku langsung mengerjakannya. Menurutku itu akan mempermudah dalam mengerjakannya, karena materi pelajaran baru saja diberikan dan apabila ada kesulitan masih banyak waktu untuk bertanya kepada guru yang bersangkutan atau sekedar mencari jawaban di buku perpustakaan.
“Ra PR nih, ayo lah dikit”. Rengek Hana.
“Ogah, kerjain sendiri. Lagian udah lima hari masih belum kelar”. Cetusku.
“Jahat ih. Eh lo abis nangis ya Ra?”. Tanya Hana.
“Iya, tapi jangan bawel”. Jawabku.
“Udah ah jangan dipikirin. Biarin aja, nyatanya banyak siswi yang pake jilbab, ngapain lo galau-galau mikirin omongan mereka. Kalau dia mau ngejek, yang ada dia dikeluarin ama kepsek. Ini sekolah umum, lagian soal keimanan cuma hamba dan Tuhannya yang tau. Gue juga pake jilbab, ntar kalau dia betingkah gue lempar pake konde emak gue yang super gede”. Hiburnya penuh ekspresi menggelitik, menurutku.
“Haha bener juga ya, tapi dia ngomongnya dibelakang, dan itu rasanya atit Na atit. Kemarin dia ketemu gue malah nanya ni jilbab beli dimana, coba tuh, gue mau jawabnya kan kayak jijik gitu”. Jawabku lumayan terhibur.
“Haha dia kalo ketemu gue malah kayak ketakutan Ra, eeh ya ampun pak Hamdan masuk, mati gue belom kelar. Ra plis Ra, satu aja biar ga keliatan kopong banget ni tugas plis Ra”.
            Aku tak tega melihat wajah melas ala Hana, ini adalah kali ke dua aku memberi jawaban secara cuma-cuma dari berpuluh-puluh permintaannya. Biasanya aku hanya memberi cara bagaimana untuk mengerjakannya, tapi karena ini sangat mendesak dan dia sedikit menghiburku, ya anggap saja ini bonus. Lagi pula hanya satu dari sepuluh soal. Pelajaran dimulai, pak Hamdan mulai mengeluarkan jurus ala guru kimia dengan segala ekspresi yang membuat siswanya merasa terancam keselamatannya.
***
Bukannya gitu Jar, lo tau kan mas Afran tuh dewa banget di rumah. Gue lagi syok malah dipojokin kan makin down √√ 19:22
Yang sabar Lara, mereka ga akan punya rasa benci sama anaknya. Mungkin ibu lo lagi banyak masalah, namanya manusia pasti ada khilafnya 19:32
Lo ga ada di TKP Jar, lo ga ngerti 19:40
“Ra turun, makan”. Teriak ibu
“Iya bu, bentar”. Jawabku sembari menunggu Fajar membaca pesan singkatku via aplikasi Whats App, kenapa pula dia jadi berpindah haluan. Seakaan-akan kini Ia membela ibu yang selalu menomorsatukan mas Afran. Ku lempar ponselku ke atas kasur lalu segera turun ke meja makan, bosan aku kalau harus kena celotehan bahkan sindiran dari ibu hanya karena hal-hal sepele seperti ini. Lama turun ke meja makan, pasti akan berlanjut menunjuk aku tak menghargai rezeki lah, “tinggal makan apa susahnya”, “Kamu mau cari makan sendiri, ya sudah sana”. Hah belum makan sudah kenyang aku.
            Makan malam kali ini cukup membuatku nyaman. Tak banyak celotehan ibu yang mampu membuat nafsu makanku berkurang atau mungkin hilang, mas Afran yang sudah pulang sejak pukul 3 sore tadi juga tak banyak  bicara. Justru aku banyak bercerita tentang kesibukanku di sekolah, walaupun aku tak terlalu bahwa yakin ceritaku didengar,  tapi biarlah setidaknya mereka mengerti kondisiku yang sedang banyak fikiran. Setelah makan malam, bapak, ibu dan mas Afran berbincang di ruang keluarga sembari menonoton televisi dan membicarakan sesuatu yang aku tak tahu pasti apa itu, sedangkan aku kembali  ke kamar untuk mengerjakan beberapa tugas sekolah sekaligus berbincang dengan Fajar secara maya.
Lo ga ada di TKP Jar, lo ga ngerti √√ 19:40
Lara ngerti dong, kalau lo terus-terusan mandang orang dari sisi buruk, lo ga akan pernah lihat kebaikan yang pernah dia lakuin ke elo. Lo bisa ada di dunia ini juga karena mereka, lo bisa segede sekarang juga karena mereka Ra 19:47
Kacau fikiranku setelah membaca pesan dari Fajar, aku tak memikirkan apa yang akan aku balas dari perkataannya, aku justru mencerna perkataannya sebagai tamparan pada diriku sendiri. Fajar benar, aku terlalu egois selalu menganggap mereka berlaku tak adil terhadapku. Tetapi, aku justru berfikir balik, apa mereka juga melihat sisi baik dari diriku? Entahlah, aku harus buang jauh-jauh fikiran burukku ini, biar apa yang orang lakukan terhadapku, terserah apa yang mereka fikirkan tentang aku, yang jelas aku harus menjadi diriku sendiri, berbuat baik pada orang lain, dan buang jauh-jauh fikiran buruk terhadap orang lain. Aku harus menjadi pelita bagi orang-orang di sekelilingku.
........
            Jam digitalku memerlihatkan angka 04:47, aku bangkit dari kasurku. Ku lihat tumpukkan buku yang lupa aku bereskan menjadi pemandangan biasa di setiap pagi. Lampu LED yang terus berkedip dari ponselku menandakan ada pemberitahuan pesan singkat ataupun jenis lainnya, ku raih ponsel berwarna hitam dengan sedikit garis berwarna silver di beberapa sisinya. 3 missed call –from Fajar GP, tanpa fikir panjang langsung ku telfon balik manusia satu itu. Manusia yang tidak pernah sabar menunggu, selalu berusaha berulang-ulang kali agar apa yang dia inginkan tercapai, Fajar Gustian Putranto.
“Halo, assalamualaikum Fajar?”. Sapaku via telfon.
“...........”.  Hening.
“Halo Jar? Ko diem”. Tegasku dengan suara serak nan lemas ala orang baru bangkit dari kasur.
“Waalaikumsalam, nenek gayung. Ga jadi ngomong, nanti aja di sekolah. Pohon mangga ya, sekalian panen, tuut tuut tuut......”. Sambungan terputus

Ah manusia satu ini memang aneh, sayang sekali pulsaku terbuang hanya untuk ucapan “Nenek Gayung”. Baikalah, aku akan bersiap pagi ini. Bersiap seperti pagi sebelumnya, pagi esok, dan pagi sterusnya untuk berkunjung ke bawah pohon mangga. Tempat di mana kerajaanku terbangun.

Bersambung...